Monday, March 14, 2011

Ada Apa Dengan Budi?…….


Ada Apa Dengan Budi?…….
Ada masalah apa? Ada yang bisa dibantu? Coba tanya Budi. Mau tanya kamar kosong? Mau membayar sewa pondok? Hubungi Budi. Butuh sesuatu? Mau minjam sesuatu? Coba lihat di kamarnya Budi. Ada kerusakan di pondok? Ada yang perlu diperbaiki? Lapor ke Budi. Mau ke ma’had? Mau pergi ta’lim? Mau pasang hijab? Mau ikut rapat? Sama-sama Budi. Ada apa dengan Budi? Bahkan hal-hal remeh-temeh pun terkadang melibatkan namanya. Mau menukar uang kecil? Mau pinjam motor (walau bukan miliknya)? Mau pakai piring, gelas, sendok? Mau sahur? Mau beli sarapan? Mau titip sesuatu? Mau menanyakan sesuatu? Selalu tanya Budi…
Siapakah sosok ikhwan bernama Budi ini, sampai segala sesuatu di pondok kami (meskipun tidak semuanya juga lho!) harus berurusan dengannya? Bagaimana sosok ikhwan yang satu ini sampai setiap informasi seakan-akan dari, oleh dan untuk dirinya? Inilah sekilas tentang ikhwan yang namanya sangat erat dengan pondok kami. Mungkin saking eratnya hingga nama pondok pun susah dilepaskan dari namanya. Ketika memperkenalkan sosoknya, atau mengingatkan orang akan siapa dirinya, atau sekedar menyebutkan tempat di mana ia tinggal, maka cukup katakanlah, “Budi Herza…...”
            Sosok Budi memang akan selalu diingat jika dikaitkan dengan pondok Herza. Di saat anak-anak membutuhkan sesuatu yang ada hubungannya dengan masalah pondok maka Budi-lah orang yang harus ditemui. Ketika ada permasalahan mengenai ta’lim (di kampus atau masjid dekat pondok kami) dan segala tetek-bengeknya maka Budi harus diinfokan. Demikian pula ketika rapat pondokan maupun daurah maka Budi harus dilibatkan. Lalu siapakah sebenarnya Budi?
            Setiap ikhwan yang pernah berkunjung ke pondok kami pasti mengenalnya. Dari sebagian tamu, ada yang telah menjadi pengunjung tetap dan ada pula pengunjung temporer. Jika sudah begini, maka kamar Budi biasanya menjadi tempat pertama untuk dimasuki. Kedatangan mereka biasanya untuk menemuinya demi suatu keperluan atau bersilaturahmi atau hanya sekedar melepaskan penat sambil beristirahat di dalam kamarnya. Di pondok kami, kamar Budi memang seolah telah menjadi milik semua orang. Ia ibarat “ibukota” di pondok kami. Tak heran, kamarnya adalah yang paling sering dikunjungi dan banyak dimasuki baik oleh tamu dari luar maupun penghuni pondok sendiri. Namun untuk urusan kamar bagi tamu yang hendak menginap, maka itu lain lagi. Ada kamar ikhwan lain yang dikhususkan untuk itu, dan namanya tak perlu disebut di sini, hehehe….
Ikhwan bernama lengkap Muhammad Budiawanshah ini ketika itu adalah seorang mahasiswa jurusan farmasi di salah satu universitas ternama di kota kami. Ia dilahirkan di Kinabatangan, Sandakan, salah satu kota kecil di pelosok negara bagian Sabah, Malaysia. Terlahir di negeri seberang, tidak secara otomatis mengeluarkan ia dari haknya sebagai warga Negara Indonesia. Ia tetap adalah orang Indonesia asli yang berasal dari keluarga berlatar belakang suku Bugis. Perawakannya yang tidak terlalu tinggi, dengan rambut cepak dan kulit sawo matang, akan membuat orang mudah mengenalinya. Ia memiliki sifat yang agak pendiam dan terkadang cenderung jaim. Jika sifatnya yang terakhir ini mulai “tampak” ketika kami sesama penghuni pondok sedang berkumpul atau berdiskusi, maka suasana canda pun akan segera mengemuka. Perkataannya yang terkadang diucapkan dengan nada bercanda tak urung menyiratkan sindiran yang seringkali membuat orang yang tidak mengenalnya dengan baik akan merasa tersinggung. Tidak demikian bagi yang sudah akrab dengannya. Hal yang sebaliknya justru bisa terjadi.
Salah satu sifatnya yang lain adalah tidak suka ribut dengan orang lain. Dengan sifat yang seperti ini, ada kecenderungan untuk lebih suka mengalah dalam dirinya, dan hal itu terkadang memberi dua dampak yang saling bertolak belakang. Dampak positifnya, banyak orang yang menyukai bahkan mungkin menyayanginya. Kecenderungannya untuk mengalah tersebut memberi peluang kepada yang lain yang mungkin lebih membutuhkan dibandingkan dirinya. Dan hal itu membuat banyak orang percaya padanya dan dapat mengandalkannya. Namun dampak negatifnya adalah mudahnya ia dikelabui sehingga terkadang bisa merugikan dirinya sendiri. Namun yang terakhir ini jarang terjadi di lingkungan pondok kami.  Adapun jika memang terjadi, maka itu biasanya hanya sekedar dalam bentuk gurauan atau candaan yang tidak terlalu ditanggapi secara serius dan berlebih-lebihan.
Masa kecil sampai usia remajanya yang dihabiskan di negeri jiran turut memberi pengaruh yang tidak sedikit terhadap perkembangan dirinya. Salah satunya adalah dialek melayu yang seakan tak bisa ditinggalkan. Nasionalismenya pun kadang dipertanyakan, apalagi ketika membanding-bandingkan kedua negara serumpun ini. Ketika akan melanjutkan pendidikan ke jenjang SMU, ia hijrah ke kampung halaman orang tuanya, di kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Di sana ia tinggal bersama neneknya hingga lulus SMU. Konon, ia termasuk salah satu “bright student” di sekolahnya. Selepas SMU, ia kemudian hijrah lagi ke Makassar untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat universitas. Saya kurang mengetahui secara pasti sejarah awalnya ia tinggal di tempat kami, namun dari beberapa sumber yang saya ketahui, ia diajak oleh salah satu kakak tingkatnya di fakultasnya yang kebetulan juga adalah ikhwan di pondok kami ini. Entah itu akh Abdurrahman Maros atau akh Muhammad Rusdi, yang pasti Budi mengawali kepindahannya itu ketika pondok kami belum lama berdiri.       
            Ada satu kisah jenaka tentang ikhwan kami ini. Sikapnya yang terkadang terlalu memuji Malaysia dan mengkritik Indonesia serta membanding-bandingkan keduanya acap kali membuat kami “kesal” mendengarnya. Namun kekesalan di sini bukanlah dalam makna yang sebenarnya, atau sampai menimbulkan perselisihan. Tidak! Istilah yang lebih tepat untuk menggambarkan sikap kami itu mungkin adalah “gemas”. Ya, kami cukup gemas dibuatnya. Walaupun demikian, memang harus diakui bahwa Indonesia sudah cukup ketinggalan dengan Malaysia. Kembali ke persoalan tadi, kegemasan kami biasanya akan lebih sering tercairkan dengan candaan-candaan yang menyerang balik. Apalagi jika ada 1000 pertama, suasana pun semakin ramai dan hangat……
            Harus diakui, Budi telah berbuat banyak untuk pondok kami. Ia adalah orang yang dipercayai “induk semang” kami untuk menangani berbagai masalah yang berkaitan dengan pondok kami, baik itu masalah sewa-menyewa, biaya listrik, air, kerusakan dan lain sebagainya. Entah apa yang akan terjadi jika ia telah meninggalkan pondok kami ini. Walaupun dalam keseharian terkadang sebagian sikapnya bisa agak mengesalkan, apalagi ketika menyindir suatu masalah, atau merasa lebih tahu, atau meminta bahkan menyembunyikan sesuatu, atau sok bijaksana, Budi tetaplah manusia biasa, yang mempunyai  kelebihan dan kekurangan. Ia adalah saudara kami. Dia adalah Budi, pribadi yang sederhana itu. Di saat orang lain ngotot menolak, maka Budi-lah yang akan bersedia melakukannya. Dia akan bisa diandalkan ketika orang lain enggan. Dia adalah Budi, penanggungjawab pondokan kami………….